Hello Guys, Kali ini saya akan membagikan info
tentang biografi dan buku " Chairul Tanjung "Si Anak Singkong"
Sebuah buku super inspiratif menurut saya, setelah membacanya. Penuturan
cerita yang apa adanya membuat jauh dari kesan lebay atau mendramatisir
keadaan. Berbagai kisah yang membuat saya tergetar haru dan speechless.
Buku yang merupakan kisah perjalanan hidup seorang pengusaha sukses di
negeri ini. Chairul Tanjung, adalah pemilik beberapa perusahaan besar
seperti stasiun televisi swasta ( Trans TV), Trans Studio, hotel, bank,
dan terakhir kabarnya menjadi salah salah satu pembeli 10% saham
perusahaan penerbangan papan atas Indonesia ( Garuda ) dsb dll.
Untuk menuliskan ekstrak sebuah buku setebal 384 halaman tentu tidak
cukup mudah. Namun di sini saya ingin berbagi sedikit kisah yang semoga
bermanfaat bagi Anda yang belum sempat membaca buku tersebut (
sejujurnya, saya berharap sahabat semua menyempatkan untuk membacanya
suatu saat nanti). Maka, saya coba menuangkan beberapa kenangan masa
kanak-kanak hingga masa kuliah saja, segera setelah saya selesai
membacanya, hari ini.
Chairul Tanjung kecil melalui hari-hari penuh keceriaan sebagai anak
pinggiran kota Metropolitan. Bermain bersama teman-teman dengan membuat
pisau dari paku yang digilaskan di roda rel dekat rumahnya di Kemayoran,
adalah kegiatan seru yang menyenangkan. Juga bersepeda beramai-ramai di
akhir pekan ke kawasan Ancol, sambil jajan penganan murah, buah lontar.
Kelas 1 hingga kelas 2 SD sekolah diantar jemput oleh Kak Ana, seorang
sanak keluarga dari Sibolga, dengan naik oplet. Selanjutnya kelas 3 SD
sudah bisa pulang-pergi sekolah sendiri.
Saat usia SMP, Bapaknya ( Abdul Gafar Tanjung ) yang saat itu telah
mempunyai percetakan, koran, transportasi dll gulung tikar dan
dinyatakan pailit oleh pemerintah karena idealismenya yang bertentangan
dengan pemerintah yang berkuasa saat itu ( Soeharto). Sang ayah adalah
Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Ranting Sawah Besar. Semua koran
Bapaknya dibredel. Semua aset dijual hingga tak memiliki rumah satu pun.
Mungkin demi gengsi, di awal-awal, Bapaknya menyewa sebuah losmen di
kawasan Kramat Raya, Jakarta untuk tinggal mereka sekeluarga. Hanya satu
kamar, dengan kamar mandi di luar yang kemudian dihuni 8 orang. Kedua
orang tua Chairul, dan 6 orang anaknya, termasuk Chairul sendiri.
Tidak kuat terus-menerus membayar sewa losmen, mereka kemudian
memutuskan pindah ke daerah Gang Abu, Batutulis. Salah satu kantong
kemiskinan di Jakarta waktu itu. Rumah tersebut adalah rumah nenek
Chairul, dari ibundanya, Halimah.
Ibunya adalah sosok yang jarang sekali mengeluhkan
kondisi, sesulit apapun keadaan keluarga. Namun saat itu, Chairul
melihat raut wajah ibunya sendu, tidak ceria dan tampak lelah. Setelah
ditanya, lebih tepatnya didesak Chairul, Ibunya baru berucap : ”Kamu punya sedikit uang, Rul? Uang ibu sudah habis dan untuk belanja nanti pagi sudah tidak ada lagi. Sama sekali tidak ada”.
( Tidak diceritakan lebih jelas akhirnya mendapat solusi
dari mana, namun kita bisa tahu bahwa di usia SMP, Chairul sudah
menyadari bagaimana kesulitan orang tuanya, bahkan untuk makan
sehari-hari. Dan Ibunya adalah sosok yang sangat tabah menjalani
kerasnya kehidupan).
Menunggu Bapak Pulang demi Zakat Fitrah
Suatu hari malam takbiran saat saya masih kelas dua
SMP. Was-was menunggu bapak yang belum juga pulang. Saya sendirian
menunggu beliau di ujung gang seraya berdoa semoga beliau kali ini
membawa uang untuk zakat fitrah kami sekeluarga.
Nanar melihat euforia malam takbiran. Teman-teman
sebaya sudah bergembira, beberapa di antaranya bahkan menyewa becak
keliling kota.
Beberapa kali air mata ini sempat menetes, sangat
sesak rasanya. Ada tetangga yang memperhatikan dan sempat akan memberi
zakat, saya tolak. ”Ya Allah, kami masih kuat berdiri. Meski tidak punya
uang, kami masih mampu mencari,” saya pikir.
Alhamdulillah, menit-menit terakhir menjelang shalat
Id, bapak akhirnya pulang dan memberi sejumlah uang untuk membayar
zakat kami sekeluarga.
Pukul 03.30 pagi saya bangunkan pengurus masjid
yang tengah lelap dalam tidurnya dan menyerahkan uang itu. Setelah itu
lega luar biasa. Langsung bergegas ke masjid untuk shalat Id meski tanpa
pakaian baru seperti teman-teman lainnya. Allahu Akbar! Tuntas
kewajiban kami, ya Allah!”
Tidak ikut Study Tour ke Yogyakarta
Kelas 3 SMP sebagaimana yang dilakukan di banyak sekolah,
diselenggarakan acara study tour yang pengumumannya 2 bulan sebelum
keberangkatan.
Pak A.G Tanjung ( bapaknya Chairul ) saat itu mengelola
perusahaan transportasi milik kawannya, sehingga otomatis Chairul
mengetahui proses kerja penanganan wisata. Maka ia pun dipercaya sebagai
koordinator transportasi untuk acara study tour sekolahnya ke Yogya
tersebut. Namun sampai tiba waktunya, ibunya tidak mempunyai cukup uang
untuk membayar biaya study tour senilai Rp. 15.000,- sehingga dengan
alasan ada kepentingan keluarga, Chairul tidak ikut berangkat dalam
acara yang bahkan ia sendiri yang sibuk mengurus berbagai persiapan. Ia
mengerjakan tugasnya sebagai koordinator dengan seksama dan melepas
kepergian teman-temannya di halaman sekolah, dengan perasaan sakit yang
disembunyikan serapat mungkin.
Menggadaikan Kain Halus Ibu sebagai Biaya Kuliah
Mendaftar di perguruan tinggi negeri adalah satu-satunya pilihan untuk
bisa kuliah saat itu, karena belum banyak pilihan untuk melanjutkan di
universitas swasta. Jika pun ada, biayanya sangat tinggi. Jadi jika
tidak diterima di negeri, alamat jalan untuk melanjutkan pendidikan
tertutup sudah. Tidak mungkin keluarganya dapat membayar biaya kuliah di
perguruan tinggi swasta, apalagi semua anak-anaknya masih dalam masa
pendidikan.
Maka, adalah sebuah kebahagiaan yang tak terkira saat melihat nama
Chairul Tanjung termasuk di antara daftar siswa yang dinyatakan lulus
UMPTN. Pulang dari tempat pengumuman di Parkir Timur Senayan, Chairul
mengabarkan pada orang tuanya bahwa ia diterima di FKG. Sebuah kabar
bahagia tentunya, disertai pemberitahuan lain berupa biaya kuliah di
FKG-UI. Total Rp. 75.000,- yang rinciannya adalah Rp. 45.000 untuk biaya
kuliah, dan 30.000 untuk biaya administrasi, uang jaket dsb.
Ibunya meminta waktu beberapa hari untuk menyiapkannya. Dan sesuai
janji, beberapa hari kemudian Ibunya tersenyum sambil memberikan uang
yang yang diperlukan. Maka tahun 1981 Chairul Tanjung tercatat sebagai
mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
Minggu awal masuk kuliah, Chairul didaulat menjadi Ketua Angkatan
Mahasiswa FKG-UI, atau mendapat julukan Jendral Angkatan”. Bisa jadi
karena postur tubuhnya yang tinggi besar, dan tentu karena pengalaman
berorganisasi dari SMP dan SMA yang telah dijalankannya.
Berinteraksi dengan para sahabat baru di kampus adalah
hal baru yang menyenangkan tentunya. Meski mengaku sering makan di
kantin CM ”Cepek Murah” Warung Toyib dengan nasi setengah porsi, sayur,
tempe/tahu, semua terasa nikmat dan membuatnya bahagia.
Hingga suatu sore, ibunya, Ibu Halimah yang di kalangan tetangga dekat
biasa dipanggil Mpok Limah, asli Cilandak, Sukabumi, Jawa Barat, berkata
dengan terus terang kepadanya. Bahwa untuk ongkos kuliah ibunya harus
pontang-panting mendapatkan uang. Dengan air mata, ibunya menatap sang
anak sambil berucap ”Chairul, uang kuliah pertamamu yang ibu berikan
beberapa hari yang lalu ibu dapatkan dari menggadaikan kain halus ibu.
Belajarlah dengan serius, Nak.”
Mendengar itu, bumi tempatnya berpijak seolah berhenti berotasi, ia
lemas seperti tanpa darah. Bisa dibayangkan, baru menikmati keceriaan
bertemu teman-teman baru, tiba-tiba mendengar berita menyedihkan itu.
Chairul mengaku terpukul, shock. Bukan untuk putus asa dan menyerah
terhadap keadaan, namun sebaliknya. Dari situlah ia bertekad untuk tidak
meminta uang lagi kepada orang tuanya. Ia harus bisa memenuhi semua
keperluan kuliah dengan usahanya sendiri.
Lima Belas Ribu Pertama dalam Hidup Chairul
Di FKG-UI banyak sekali praktikum, dari membuat gigi palsu menggunakan
wax ( lilin), gipsum, dsb. Ada buku praktikum sekitar 20 halaman yang
harus diperbanyak ( difotocopy) oleh mahasiswa sebagai pedoman wajib.
Di lingkungan Salemba Raya, bertebaran tukang foto
kopi dengan ongkos per lembar Rp. 25,- sehingga diperlukan total Rp.
500,- untuk mendapatkan buku tersebut.
Nah, Chairul mempunyai teman SMP yang orang tuanya memiliki usaha
percetakan di Jl. Bango V No. 5, Senen. Namanya Bravo Printing. Usaha
percetakan milik Pak Surya itu dijalankan oleh Pak Surya sendiri beserta
anak-anaknya Toni, Hardi Surya, Beni ( teman Chairul).
Maka Chairul datang ke percetakan itu meminta tolong
pada Hardi Surya ( kakak kelas Chairul di SMP juga ), dan disanggupi
dikerjakan dengan harga Rp 150. Dikerjakan dulu, dibayar setelah
selesai.
Maka, peluang usaha mulai dilihatnya. Esoknya, Chairul menawarkan jasa
cetak diktat dengan harga Rp.300, lebih hemat tentunya dibanding harga
pasar yang Rp. 500,-. Singkat cerita, ada 100 orang temannya yang
mendaftar mencetak di Chairul, dan otomatis ia mendapatkan keuntungan
sebesar Rp. 15.000,-
Sebuah keuntungan yang diperoleh dengan proses sangat mdah, dengan hanya berbekal jaringan dan kepercayaan.
Uang keuntungan usaha yang baru pertama kali
diterimanya sebesar 15.000 itu dirasakan Chairul sebagai momentum
pembangkit kepercayaan diri
selanjutnya.
Puluhan ribu berikutnya, ratusan ribu dan jutaan berikutnya bukan perkara sulit jika
semangat dan kepercayaan bisa terus dijaga. Sejak itu hidupnya terasa lebih mudah.
Dari 15.000 itu kemudian ia terkenal ke seantero kampus sebagai
pengganda diktat yang murah. Awalnya ia mendapat tempat fotocopy murah
di daerah Grogol ( Rp. 15,-/lembar dan karena memberi order banyak
didiscount menjadi Rp.12,5/lembar). Dosen dan teman-teman lintas jurusan
kerap menitipkan fotocopy padanya. Praktis nyaris tiap hari ia
mondar-mandir Grogol-Salemba dengan bajaj mengangkut diktat-diktat yang
difotocopy dibantu beberapa orang sahabatnya.
Berikutnya karena merasa lama-lama kerepotan mondar-mandir sementara
iapun harus mengikuti jam perkuliahan dan menjalankan berbagai
praktikum, ia mengajukan permohonan memanfaatkan ruang kosong di bawah
tangga untuk menempatkan mesin foto copy.
Dan berkat hubungan baik dengan hampir semua dosen, karyawan bahkan rektor UI, ijin itu mudah didapatkan.
Lalu Chairul meminta pemilik mesin fotocopy itu membuka
counter di bawah tangga di fakultasnya di Salemba. Ia mendapat marketing
fee sebesar Rp.2,5,-/lembar. Dan setiap sore, Chairul tinggal datang ke
tempat fotocopyan sambil meminta setoran layaknya bos…:)
( Kita semua pasti akan turut tersenyum terhibur membacanya…bangga dan haru…)
Demikianlah naluri bisnisnya kian terasah. Dari mulai usaha fotocopy,
merambah ke bisnis alat-alat kesehatan sebagai salah satu kebutuhan
pokok mahasiswa kedokteran gigi. Lalu masuk mencoba bisnis di luar
kampus meski diakhiri cerita kebangkutan dengan ditutup tokonya.
Namun bangkit lagi dengan usaha jual-beli mobil bekas, bengkel reparasi mobil, kontraktor kecil-kecilan, dst dll.
Tahun 1984, di masa kuliah tahun ke 4 (usia 22 tahun) Chairul telah
berhasil membeli mobil Honda Civic warna coklat keluaran tahun 1976
seharga 3,6 juta. Dan tahun 1986 berganti Honda Accord keluaran tahun
1981.
Perolehan itu menunjukkan bahwa ia telah berhasil mewujudkan tekadnya
untuk tidak meminta biaya kuliah pada orang tuanya, sekaligus juga telah
mulai menuai hasil usahanya dengan kerja keras dan kerja cerdas
tersebut. Sebuah prestasi yang membanggakan setiap orang tua tentunya.
Begitulah Chairul….sambil tekun menjalankan
usahanya, ia juga paralel dengan aktif di berbagai kegiatan organisasi
kampus dan aktifitas sosial. Semua dijalankan secara seimbang dan
bersamaan.
Hingga di usia dewasa Chairul terus memperluas jalinan
silaturahim ke berbagai kalangan, berani mempelajari aneka bisnis baru
dan mencari jalan untuk menjalankan dengan sebaik-baiknya. Gabungan
antara kerja keras, menjaga kepercayaan, mengedepankan kejujuran dan
etika bisnis, tak pernah berhenti belajar dan disertai dengan doa
terbaik tentunya.
Pak Chairul Tanjung, sesosok pengusaha besar nasionalis yang sangat
diperhitungkan di negeri ini, termasuk bagi Pak Dahlan Iskan yang saat
itu sempat mengirimkan sms menawarkan penjualan saham Garuda sebagaimana
yang sempat diceritakan oleh Pak Dis sendiri di Manufacturing Hope
beberapa waktu lalu.
Beliau mungkin telah menggenggam berbagai cerita kesuksesan hari
ini yang adalah hasil jerih payah dan kerja kerasnya yang dimulai
sangat dini.
Tempaan hidup berupa kemiskinan, seringkali menjadikan seseorang menjadi tangguh, berkarakter dan berkepribadian.
Lalu, jika sebagian kita yang Alhamdulillah mungkin tak sampai harus
mengalami kelaparan sebagaimana Pak Chairul Tanjung, dan Pak Dahlan
Iskan di masa kecil……dapatkah kita mempunyai semangat juang yang sama
dengan mereka semua?
Sejauh mana usaha dan kerja keras kita hari ini? Dapatkah kita
menggembleng anak-anak kita untuk menyadari bahwa tugas di pundak mereka
adalah menjadi manusia-manusia bermanfaat di hari depannya kelak?
Pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah menjawabnya. Pun adalah pekerjaan
yang tidak segampang mengatakannya. Yang pasti…harus terus kita nyalakan
api semangatnya….agar setidaknya kita tahu apa yang harus kita lakukan
hari ini, esok dan lusa.